Skip to main content

Waktu untuk perspektif Maluku

Molo Uku – Legacy of a Golden Era (Warisan dari Masa Keemasan) adalah suatu buku komik yang menceritakan kedatangan VOC (‘Verenigde Oost-Indische Compagnie’, Persatuan Perusahaan Hindia Timur) di Maluku, dari sudut pandang Maluku. Berbagai unsur dari sejarah kami, yang pada dasarnya disebarkan secara lisan, dimasukkan ke dalam cerita fiksi ini: peristiwa yang benaran terjadi dan tokoh-tokoh yang merupakan suatu simbol untuk unsur-unsur dalam kebudayaan kami. Semua ini dengan alur cerita yang unik serta karya seni yang menakjubkan.

Tujuan dari buku komik ini adalah menginspirasi para pembaca untuk kepingin mengetahui sejarah mereka lebih dalam lagi. Dan juga untuk mengenali dan mengakui kesalahan-kesalahan yang dibuat pada saat itu serta belajar dari kesalahan tersebut, agar kami bisa menjadi lebih akrab. Akhirnya dengan demikian kami bisa membalik ‘halaman hitam’ (‘zwarte bladzijde’, suatu pribahasa yang menunjukkan suatu kejadiaan, peristiwa atau zaman dari dulu yang dikutuk pada saat ini) ini dari sejarah kami dan mengerjakan hal yang terpenting: “Memperbaiki dunia kita untuk semua orang yang mewarisinya dari kami – warisan kami.”

Tentang penulis:
Cara terbaik untuk menguraikan Erno Pickee adalah sebagai guru wirausaha. Dia mengajar secara wirausaha dan mengajar sambil berwirausaha. Ibunya adalah orang Maluku dan bapaknya adalah orang Belanda. Kehidupan bersama dan juga sengketa antara kedua rakyat tersebut hidup dalam dirinya. Oleh sebab itu dia berhasrat untuk menceritakan sudut pandang ini tentang VOC agar dia bisa meredakan sengketa tersebut dan menciptakan ruangan lebih luas untuk “bersama”. Dia berusaha melakukannya dengan mengingatkan pepatah berikut:

Tell you and you’ll forget
Show you and you will remember
Involve you and you’ll understand”

(“Kalau bercerita kepadamu, kamu akan lupa
Kalau menunjukkanmu, kamu akan ingat
Kalau melibatkanmu, kamu akan mengerti.”)

Intinya adalah menciptakan keterlibatan dan menimbulkan pertanyaan seperti: “Apakah betul-betul terjadi seperti itu?”, “kenapa sampai kami bisa membiarkan hal-hal ini terjadi?”, “kenapa saya tidak mengetahuinya?” dan sebagainya… Habis itu seorang bisa menyadari: “fiksi tidak akan pernah menjadi begitu keras seperti kenyataan.”. “Your legacy is someone else’s heritage.” (“Warisan kamu akan menjadi warisannya orang lain.”)

Informasi molouku.com

Kacamata historis baru menunjukkan perbudakan di Asia

Rubrik oleh Prof. Dr. Fridus Steijlen

Pada akhir September buku ‘De Slavernij in Oost en West; Het Amsterdam Onderzoek’ (‘Perbudakan di Timur dan Barat; Penelitian Amsterdam’) dipresentasikan. Tiga hari kemudian presentasi ini disusul oleh seminar-seminar kecil-kecilan tentang tema tersebut di berbagai tempat dalam kota. Yang terakhir disebabkan aturan corona. Buku ‘Perbudakan di Timur dan Barat’ adalah suatu buku istimewa. Buku ini adalah suatu ‘state of the art’, seperti orang sering bilang, suatu pertunjukan dari sesuatu yang sudah terkenal. Sebanyak empat puluh orang menulis dalam buku ini tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Amsterdam dan perbudakan.

Bukunya

Alasan pembuatan buku tersebut adalah keinginan dewan kota untuk memohon maaf atas peran Amsterdam dalam perbudakan. Tetapi, dengan demikian, orang harus mengetahui dulu untuk apa sebenarnya mereka memohon maaf. Penelitian baru tidak bisa dilakukan sebab waktunya terlalu kepepet (tidak sampai setahun). Oleh sebab itu buku ini dibentuk oleh 40 sumbangan tentang keterkaitannya Amsterdam dan dewan kota serta anggotanya dalam perbudakan. Buku ini menceritakan peran dewan kota, apa yang masyarakat dapat mengetahui dan bagaimana mereka juga terpengaruh oleh perbudakan dengan produk-produk yang dibuat oleh budak, tapi juga menceritakan bagaimana masa lalu itu masih memengaruh kehidupan di masa kini.

Saya mendapat kehormatan untuk menduduki posisi dalam panitia bimbingan ilmiah. Di posisi ini saya bisa melihat bagaimana penulis dan redaksi bekerja keras untuk bisa menghasilkan produk akhir yang kualitatif. Tetapi itu juga berarti bahwa saya dipersilahkan untuk membaca terlebih dahulu sebelum produk akhir selesai, sebab saya sebagai pembimbing dalam panitia harus ikut membaca selama proses penulisan berjalan.

Dengan jujur saya akui bahwa saya sempat ragu saat saya mulai membaca 40 bab lebihnya. Bagian-bagian sejarah kecil tentang banyak hal yang berbeda-beda. Tapi semakin saya lanjut membaca, semakin naskah tulisan ini membuat semuanya jelas. Membacanya merasa seperti sedang bermain puzzle yang terdiri dari seribu potongan dan semakin banyak potongan bisa diletakkan, semakin gambar seluruhnya menjadi jelas. Dan itu luar biasa. Buku ini menunjukkan sebagaimana perbudakan pada saat itu, dan terkadang pada saat ini masih juga, terikat dalam kemasyarakatan. Para juragan yang mengangkut gula dan rempah-rempah dari Amsterdam ke daerah pedalaman juga menghidupi diri dengan mengankut barang-barang yang dibuat oleh orang-orang yang diperbudakkan. Pada masa kini konglomerat disini melaksanakan suatu tanggung jawab khusus bernama ‘ketenverantwoordelijkheid’ (tanggung jawab berantai), yang bermaksud konglomerat harus bisa menjamin bahwa barang-barang yang mereka jual di toko-toko tidak dibuat oleh perbudakan atau pekerja anak. ‘Ketenverantwoordelijkheid’ ini adalah sesuatu yang ada pada masa kini dan tentu saja tidak ada pada masa lalu. Tapi kami disadarkan juga bahwa perhatian yang selalu diarahkan kepada perdagangan budak trans-Atlantik, sebagaimanapun juga itu wajar, memudarkan penglihatan kami. Karena juga di, yang dalam bahasa Belanda disebut, ‘de Oost’ (Timur) perbudakan itu tentu saja juga ada.

Apa yang kami pelajari?

Pada hari-hari sebelum bukunya dipresentasikan, salah satu teman Maluku saya bertanya apa saya pelajari dari naskah tersebut. “Banyak” saya menjawab, tapi satu hal terkhusus. Yaitu bahwa kami butuhkan suatu ‘kacamata baru’ (pandangan baru) untuk melihat sejarah kolonial di Asia, Indonesia dan Maluku.

Kami sebernanya dengan lama menggunakan istilah-isiltah eufemistis ketika kami bicarakan atau menulis tentang perbudakan dan kerja paksa. Di saat kami bicarakan ‘perken’ (wilayah perkebunan) di Banda, setelah pembantaian oleh J.P. Coen pada tahun 1621, kami bicara tentang orang-orang yang diperbudakkan lalu diberi kepada orang untuk menggarap tanahnya, tapi kami kurang membicarakan para ‘perkeniers’ (pemilik tanah, atau tuan tanah) yang juga menjadi korban dari kerja paksa. Kami membicarakan ‘monopoli’ atas perdagangan rempah, yang terdengar seperti metode perekonomian, sedangkan para petani Maluku sebenarnya dipaksa kerja untuk jumlah yang ditentukan oleh VOC. Itu juga termasuk kerja paksa. Pada kurun waktu kolonial selanjutnya kami bicara tentang ‘herendiensten’ sebagai suatu bentuk membayar pajak (‘herendiensten’ merupakan suatu sistem dimana para petani diharuskan bekerja untuk dan menyerahkan sebagian dari hasil tanah kepada seorang pemimpin yang juga pemilik tanahnya, dengan timbal baliknya mendapatkan perlindungan oleh pemimpin tersebut), tapi dengan demikian kami sebenarnya tetap berbicara tentang kerja paksa dan perampasan kebebasan oleh seorang pemimpin asing. Dan apalagi perempuan-perempuan yang sebagai nyai diperlakukan seperti barang milik oleh para tuan kolonial. Untung belakangan ini peristiwa sejarah ini menjadi bahan penulisan, tapi lama sekali ini tidak terjadi. Pemindahan terpaksa juga sering terjadi secara sistematis di Asia.Disana banyak orang yang diperbudakkan kemudian diperdagangkan dan dibawah dari satu tempat ke tempat lain. Perdagangan tersebut bukan suatu ‘aktifitas ekonomi khusus’ dari Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC, Persatuan Perusahaan Hindia Timur) seperti itu aktifitas khususnya West Indische Compagnie (WIC, Perusahaan Hindia Barat Belanda). Oleh sebab itu aktifitas tersebut kurang terkenal sebagai aktifitas VOC, tapi walaupun kurang terkenal tetap terjadi. Yang saya pelajari, saya menyimpulkan, adalah bahwa kami membutuhkan suatu pandangan baru untuk sejarah kolonial di Asia. Suatu pandangan yang memberikan kami kemampuan untuk melihat kerja paksa dan perbudakan secara lebih baik dan lebih benar. Bukan untuk menimbulkan persaingan perbudakan antara ‘de Oost’ (Timur) dan ‘de West’ (Barat). Dampaknya perbudakan trans-Atlantik sampai sekarang masih terasa, juga di Asia. Tapi sudah terlalu lama kami menyelimutinya secara eufemistis dengan istilah-istilah ekonomis. Penting adalah melihatnya dan menyebutkannya. Dengan demikian kami bisa dapat menemukan perbedaan dan kesamaan dan melangkah maju.

Saatnya

“Itulah apa yang saya pelajari”, saya mengatakan kepada teman saya. Lalu berlangsunglah presentasinya dan seminarnya dengan banyak perhatian dari media. Saya kemudian menyadari bahwa dewan kota Amsterdam, mungkin tanpa perencanaan, telah menciptakan suatu momentum. Bisa saja mereka memohon maaf dan kemudian kami sedikit berbincang tentang permohonan maaf itu. Tapi yang terjadi adalah kemunculan momen sebelum permohonan maafnya di mana pengetahuan yang ada tentang masa lalunya perbudakan Belanda dan khususnya di Amsterdam menjadi fokus. Pada momen tersebut perbudakan mondial dibahas, dan dengan demikian juga di ‘de Oost’ (Timur), dimana mereka membahas Banda sebagai tempat yang termasuk tempat pertama dimana orang-orang Belanda secara sistematis memakai orang-orang yang diperbudakkan. Dan seluruh Belanda menjadi saksinya.

Inilah saatnya untuk memakai kacamata historis baru dan melihat ulang zaman kolonialisme yang berhubungan dengan perbudakan di Asia.

KALAU DAPAT MEJA PUTIH, JANGAN LUPA LESA

DITULIS OLEH REÏNDA HULLY PADA 1 OKTOBER 2020.

Komunitas Maluku di Belanda hidup dalam suatu zaman istimewa. Dalam beberapa tahun terakhir berbagai kota dan pedesaan merayakan ulang tahun yang ke-50 sejak kampung Maluku terbentuk dan tahun depan sudah 70 tahun generasi pertama dari orang Maluku tiba di Belanda. Tahun lalu kampung Maluku Bovensmilde, yang terletak di Provinsi Drenthe, juga mulai merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Waktu saya ditanya untuk berbicara pada pembukaan tahun istimiwa itu, banyak pemikiran dan pertanyaan muncul dalam diri saya. Di bawah ini Anda akan menemukan sebagian dari pidato saya yang diizinkan untuk saya sampaikan pada hari itu. Saya adalah seorang generasi ketiga dari orang Maluku, dan saya ingin berbagi pemikiran saya tentang budaya Maluku. Hanya, ini bukan berarti bahwa pemikiran saya adalah pemikiran umum antara semua generasi ketiga. Biarpun begitu saya merasa bahwa membahas ini adalah sesuatu yang baik…

KALAU DAPAT MEJA PUTIH, JANGAN LUPA LESA. DON’T FORGET YOUR ROOTS.

Sebagai seorang generasi ketiga dari orang Maluku di Belanda, terkadang sulit harus mengikuti aturan berikut yang terdengar begitu gampang: jangan pernah melupakan dari mana dirimu berasal. Saya merasa kebanyakan dari orang Maluku yang sama usia dengan saya berpendapat sama, bahwa kebudayaan Maluku di Belanda adalah kebudayaan yang lumayan rumit. Ketika kami harus menjelaskan kepada teman sekelas, sejawat atau orang lain apa sebenarnya yang membuat “kami orang Maluku” begitu istimewa, kami hanya bisa menceritakan kisah-kisah tentang makanan enak dan keluarga-keluarga yang berbakat musik. Tapi bukannya kami lebih dari itu? Bukankah kami meremehkan diri kami ketika kami hanya membicarakan hal-hal lugas seperti itu?

Kebudayaan Maluku adalah kaya dengan gagasan, tradisi dan bagian-bagian yang sebenarnya saya kurang pahami. Budaya pela, gandong, ritual adat, dan juga arti sebenarnya tentang RMS… Semua istilah ini sering terdengar dan tidak asing bagi saya, tapi apa arti semua kebudayaan tersebut? Apa yang, contohnya, menjadi peraturan dan tradisi tertentu yang terkait dengan pela? Apa yang sebenarnya menjadi artinya adat dan bagaimana adat ini berbeda untuk setiap keluarga dan kampung? Sejauh mana RMS didirikan untuk orang seperti saya dan apa artinya RMS bagi orang seperti saya, seorang remaja, yang lahir dan dibesarkan dalam budaya barat, yang dibesarkan dalam masyarakat ganda dengan norma dan nilai Maluku dan barat sambil mencoba mebangun karier di negara barat? Apakah saya boleh menanyakan pertanyaan ini, atau haruskah saya mencari jawabannya sendiri? Jujur saya akui, bahwa saya tidak memahami dan mengetahui hal-hal tersebut.

Saat saya menulis monolog ini, menjadi jelas bagi saya kepentingan generasinya kakek-kakek dan nenek-nenek saya untuk kebudayaan Maluku. Kata-kata ini saya tujukan kepada nenek saya dari Waalwijk.

BIARPUN SAYA INGIN MEMEGANG SEMUA RITUAL, GAGASAN DAN TRADISI, TERKADANG SAYA HARUS BERANI UNTUK MELEPASKAN SESUATU SEBAB ITU BISA MENGHALANGI PERKEMBANGAN SAYA.

Nenek, saat Anda meninggal dunia pada tahun 2015, saya merasa seperti pengikatan berwujud terakhir dengan sejarah saya, kebudayaan saya, latar belakang saya telah berakhir. Bagi saya generasi pertama memiliki “otoritas” kalau kami bicarakan tentang kebudayaan Maluku di Belanda. Dan itu wajar, karena Anda yang membawa kebudayaan seperti kami kenal, seperti saya merasa saya kenal, ke Belanda. Tanpa keberadaan Anda secara langsung saya merasa takut bahwa saya akan kehilangan asalnya saya. Apa yang Anda mengajarkan saya? Bagaimana saya harus mempertahankan kebudayaan yang Anda membawa ke sini sedangkan saya kurang mengetahuinya? Dan mungkin yang terpenting,  bagaimana saya dengan sesama usia saya bisa membuat Anda bangga dengan melanjutkan apa yang Anda sendiri sudah tidak bisa melakukan lagi…?

Saat bulan-bulan pertama setelah Anda meninggal dunia saya sering merenungkan apa itu artinya “menjadi orang Maluku”. Dan sebenarnya sampai sekarang saya belum mengetahuinya. Selama hampir 20 tahun dimana saya sempat mengenal Anda ada beberapa hal yang Anda menegaskan kepada saya. Contohnya: “Bersyukurlah kepada Tuhan setiap pagi ketika kamu bangun dan setiap malam sebelum tidur…”. Saya merasa bahwa percaya itu bagi banyak orang Maluku adalah sesuatu yang penting. Percaya itu adalah suatu bagian yang diperlukan dalam kebudayaan kami dan banyak tradisi didasarkan kepadanya. Oleh sebab itu mungkin bagian tersebut menjadi bagian yang paling kuat sekaligus yang paling lemah dari kebudayaan kami. Walaupun ada kemungkinan besar bahwa semuanya dari kami percaya, untuk hidup sebagai orang yang beragama di dunia barat itu semakin sulit. Itu dapat dilihat di sesama generasi dan usia saya yang beragama Kristen. Kami tetap mengikuti norma dan nilai kristiani, tapi kami sudah tidak lagi dapat ditemukan di gereja pada setiap hari Minggu atau sudah tidak lagi membaca Alkitab. Kami tetap percaya, tapi dengan cara “modern”.

Selain itu Anda juga membahas kepentingan keluarga. Dan terkait dengan itu juga kampung, kumpulan dan dengan seluruhnya juga komunitas Maluku. Pada Hari Natal semua keluarga harus berada di rumah dan Anda suruh kami semua berkumpul setidaknya setahun sekali. Dan sampai sekarang kami tetap melakukannya. Walaupun saya dibesarkan di luar kampung Maluku saya tetap sadar sebagaimana saya diberkati dengan memiliki keluarga Maluku dan dengan bisa menjadi anggota dari komunitas Maluku. Saya tidak mengenal kakek dan nenek Hully, tapi lewat kisah-kisah yang bibi-bibi dan paman-paman menceritakan tentang mereka, kisah dan kebijakan mereka tetap terpancar. Tapi juga garis keturunan keluarga dan kisah-kisah keluarga mulai kabur dan berubah. Bibi saya di Negerilima di Ambon menanyakan: “Inda sudah campur keturunan?”, ketika saya bercerita tentang teman saya yang berketurunan Belanda. Dengan demikian beliau menyadarkan saya tentang kenyataan bahwa keturunan Maluku sedang berubah. Tentu saja, bagi kami orang Maluku di Belanda lumayan sulit untuk mempertahankan hubungan keluarga yang semakin mengabur dengan setiap generasi. Tapi, setidaknya dengan kerjasamanya lembaga-lembaga kampung dan kumpulan kami pasti bisa. Iya, kan?

Sewaktu saya mempersiapkan kontribusi “pembicaraan tentang kebudayaan kami” saya ini, saya disadarkan tentang dua hal penting. Pertama, ada beberapa hal yang harus saya pertahankan sebab itu yang membedakan saya dari orang lain. Walaupun kami semua sama, kami juga unik dan itu tidak perlu dilupakan. Kedua, ada beberapa hal yang saya harus menyesuaikan sebab, mau tidak mau, ada hal yang tidak cocok dengan masyarakat di dalam saya hidup. Biarpun saya ingin memegang semua ritual, gagasan dan tradisi, terkadang saya harus berani untuk melepaskan sesuatu sebab itu bisa menghalangi perkembangan saya. Tugasnya kami sebagai generasi ketiga, keempat, kelima dan seterusnya adalah memikirkan apa yang kami bisa pertahankan dan apa kami harus sesuaikan atau tambahkan dalam kebudayaan Maluku. Karena bukankah itu cara terbaik untuk menghormati kakek dan nenek kami? Supaya kami bukan hanya mengenangkan kebudayaan kami sebagaimana mereka membawanya ke Belanda, tapi kami juga bisa mengembangkannya biar dalam negeri barat seperti Belanda kebudayaan kami tetap bisa hidup.

Nenek, Anda selalu mengatakan saya harus sekolah baik-baik dengan tujuan bisa bikin yang terbaik disini. Tuhan membawa kami ke Belanda bukan tanpa maksud: “tunjukkanlah apa yang kami orang Maluku bisa…” Saya merasa bahwa ini adalah titik yang baik untuk memulai.

Actie Wassenaar 1970 – Een wake up call

Een variant van de poster met een groepsfoto van de actievoerders van de actie Wassenaar 1970 heeft een nieuw leven gekregen. De oorspronkelijke poster had een roodachtig achtergrond met boven groepsfoto in vlammende letters geschreven ‘Wassenaar’ en eronder ’35 pahlawan RMS’ (35 RMS helden). Op de nieuwe versie prijken dezelfde letters, maar nu in goud, tegen een achtergrond met de RMS vierkleur en staat onder de foto: Mena-Muria 31 augustus 1970 – 31 augustus 2020. Het is een oproep voor de vijftigjarige herdenking van de actie.

De actie Wassenaar, de bezetting van de residentie van de Indonesische ambassadeur op 31 augustus 1970, was de eerste van een serie radicale acties in de jaren zeventig. Na een dag gaven de jongeren zich over, nadat door de Nederlandse regering beloofd was dat er gesprekken kwamen tussen de Nederlandse regering en de Molukse leiders. Begrijpelijkerwijze wordt die eerste actie overschaduwd door de treinkapingen en gijzelingsacties van 1975 en vooral die in de Punt en Bovensmilde van 1977 toen de acties met veel geweld werden beëindigd waarbij doden vielen. Dat de actie Wassenaar vaak in de schaduw staat is niet helemaal terecht. In meerdere opzichten was de actie een belangrijk moment. Binnen de Molukse gemeenschap en de politieke strijd en voor de relatie met de Nederlandse samenleving. Maar ook voor de Nederlandse overheid, voor hen was het zelfs een soort wake-up-call.

Dat de actie Wassenaar vaak in de schaduw staat is niet helemaal terecht. In meerdere opzichten was de actie een belangrijk moment.

Tegen het einde van de jaren zestig kwamen Molukse jongeren steeds vaker in aanvaring met Nederlandse jongeren. Er werd wel gesproken over een opkomende ‘Black Power-mentaliteit’ onder Molukse jongeren om erop te wijzen dat Molukse jongeren zich steeds zelfverzekerder en trots op hun eigen identiteit de confrontatie met hun Nederlandse leeftijdsgenoten en de Nederlandse overheid aangingen. Dat ging in eerste instantie niet om politieke zaken. Met de actie Wassenaar kreeg die confrontatie bij wijze van spreken een politiek militante dimensie, waarna ook daadwerkelijk contacten met de Amerikaanse beweging kwamen.

Vanuit de Nederlandse samenleving kwam een depolitiserende reactie. De jongeren zouden vooral in actie zijn gekomen uit boosheid over de behandeling van hun ouders, dus niet politiek, en/of zij zouden de dromen van hun ouders najagen. Tegen deze interpretaties namen de jongeren duidelijk stelling: het was hun eigen idee en Nederland moest niet denken dat zij door hun ouders waren opgehitst.

Overbrugging en samenwerking

Intern zorgde de actie Wassenaar voor een overbrugging tussen deels rivaliserende RMS bewegingen. De RMS regering in ballingschap van ir. J. Manusama die in 1966, na de executie mr.dr. Ch. Soumokil, was opgericht had in 1969 concurrentie gekregen van een tegenregering onder leiding van generaal I. Tamaela. Beide presidenten hadden de beschikking over eigen ‘veiligheidskorpsen’. Tameala’s korps werden commando’s genoemd, en bij Manusama was dat het Korps Pedjagaan Keamanan (Korps voor bewaking van veiligheid). Daarnaast was er een stroming RMS jongeren die zichzelf als onafhankelijk beschouwden en niet perse voor een van beide presidenten waren. Toen in de zomer van 1970 bekend werd dat de Indonesische president Suharto op 1 september naar Nederland zou komen voor een staatsbezoek, besloten jongeren hem een warm welkom te geven.

De jongeren lieten zien dat zij in staat waren om voor het politieke doel tegenstellingen terzijde te schuiven

Leden van Manusama’s KPK kregen hoogte van dat initiatief namen het vervolgens over. De actie groeide uit tot een plan om drie objecten te bezetten, het Indonesisch consulaat in Amsterdam, de Indonesische ambassade in Den Haag en de Indonesische residentie in Wassenaar. Op het laatste moment ging alleen de laatste actie door. Tijdens de voorbereidingen groeide de groep die bij de actie(s) betrokken werd. De jongeren kwamen uit alle RMS stromingen, waardoor de actie Wassenaar een teken werd van gezamenlijkheid. De jongeren lieten zien dat zij in staat waren om voor het politieke doel tegenstellingen terzijde te schuiven.

Voor de Nederlandse autoriteiten was het een wake-up call. De confrontaties tussen Molukse en Nederlandse leeftijdsgenoten hadden hen er al van doordrongen dat er iets moest gebeuren met de relatie tussen Molukkers en de Nederlandse samenleving. Men sprak wel van ‘normalisatie’ van de relatie. Een van de middelen die men daarvoor zag waren stichtingen voor de samenlevingsopbouw, later kortweg ‘de stichting’ genoemd, waar elke Molukse wijk subsidie voor kon krijgen. Eind jaren zestig waren goede ervaringen opgedaan met bijvoorbeeld de stichting Sou ’66 in Middelburg.

Normalisatie met Indonesië

De actie Wassenaar verraste de Nederlandse autoriteiten en met een schok realiseerden zij zich dat de positie van Molukkers in Nederland ook verbonden was met de Molukken. In de jaren negentig interviewde ik voor mijn boek ‘RMS van ideaal tot symbool’ iemand die indertijd bij de Binnenlandse Veiligheid Dienst (BVD) werkte. Voor hen was het een wake-up call vertelde hij. Naast de relatie met de Nederlandse samenleving moest ook worden gewerkt aan een ‘normalisatie’ van de relatie met Indonesië. De BVD intensiveerde haar aandacht voor Molukkers.

Voor een ‘normalisatie’ van de relatie met Indonesië had Nederland Indonesië nodig. In eerste instantie stond de Indonesische regering op het standpunt dat ‘het Molukse vraagstuk’ een Nederlands probleem was. Na moeizame onderhandelingen was Indonesië bereid Nederland uit de penarie te redden. Er kwam een overeenkomst waarin onder andere begeleide reizen van Nederlandse Molukkers naar Indonesië werden geregeld (de oriëntatiereizen) en repatriëringsmogelijkheden voor oudere Molukkers met een Indonesische nationaliteit. De organisatie lag in handen van joint comités, een in Nederland en een in Indonesië.

demonstratie naar aanleiding van actie Wassenaar

Eind zomer 1975 was de overeenkomst klaar en kon worden begonnen met de uitvoering. De Molukse jongeren waren intussen van mening dat de gesprekken na de actie wassenaar niets hadden opgeleverd. Nieuwe acties waren volgens hen noodzakelijk. Die kwamen er, te beginnen met de treinkaping bij Wijster en de gijzelingsactie in het Indonesische consulaat in Amsterdam in december 1975.

De bekendmaking en implementatie van het Akkoord van Wassenaar werden vanwege de nieuwe acties even uitgesteld. De uiteindelijke gevolgen van de oriëntatiereizen en andere maatregelen van het Akkoord droegen op langere termijn bij aan een veranderende positie van Molukkers in Nederland. De impact van de actie Wassenaar was dus vele malen groter dan men in 1970 kon bevroeden en dan tegenwoordig wordt onderkend.

Verder lezen:

Tete Siahaya ‘Mena Muria, Wassenaar ’70: Zuid-Molukkers slaan terug’, 1972

Henk Smeets & Fridus Steijlen, ‘In Nederland gebleven; de geschiedenis van Molukkers 1951-2006’, 2006; (hoofdstuk 8 en 9)

Fridus Steijlen, ‘RMS van Ideaal tot symbool, Moluks nationalisme in Nederland 1951-1994’, 1996; (hoofdstuk 6)